CERPEN : Pemalas yang Memancing Kenangan



Pemalas yang Memancing Kenangan
Karya : Bagus Sulistio

Foto itu tak pernah lepas dari tangannya. Ketika tidur, ia bawa. Ketika sedang melamun, ia bawa. Selalu melekat pada dirinya. Tak pernah bosan-bosan ia memandang foto itu.

Sebenarnya tak ada yang istimewa dalam gambar foto itu. Hanya gambar sungai yang tenang dan beberapa pohon di tepiannya. Tapi orang yang mengambil foto itu yang menurutnya istimewa. Tidak ada yang bisa mewakili orang tersebut kecuali foto itu sendiri.

***
Pagi yang mendung mungkin lebih nikmat di isi dengan berbaring di atas kasur. Itu yang ada dipikiran Jose yang malas. Hari-hari di isi dengan kemalasan. Hanya satu tempat yang terkadang ia kunjungi. Bengkel. Tempat yang cukup jauh dari rumahnya. Itu saja jika ada tetangga atau temannya yang menghubunginya. Mengadu tentang kerusakan pada kendaraan mereka.

"Apakah kau hanya ingin hidup di sofa?" tanya seorang pria tua.

"Aku sudah terlalu nyaman di sofa ini. Mungkin nanti sore aku akan beranjak," kata Jose kepada Luis dengan malas.

"Baik. Ayah tunggu nanti sore," ucapnya sambil tersenyum, "ingat ya nanti sore!" tegasnya lagi.

Luis meninggalkan Jose dengan sofanya. Ia pergi ke luar rumah menunggangi mobil tuanya. Entah kemana ia akan pergi. Mungkin menikmati hari tuanya dengan kehidupan. Tak ada yang bisa menghibur pria tua kecuali kesenangan yang ia buat sendiri.

Pemuda itu masih dengan sofanya. Sesekalinya ia beranjak dari sofa. Hanya untuk menyalakan televisi yang berada di atas meja yang tak jauh darinya. Mencari-cari tayangan yang menurutnya paling bagus. Akhirnya ia menemukan tayangan televisi yang disukai. Tayangan yang menyiarkan video-video klip band ternama, The Beatles.

Jose membesarkan volume suara televisi. Bersenandung sambil mendengarkan alunan musik. Kepalanya yang tergeletak di atas sofa diangguk-anggukan sesuai tempo musik. Jose sungguh menikmati apa yang dilakukan. Saking nikmatnya, matanya terpejam secara tak sadar.

"Hai pemuda. Hari ini kau sangat pemalas sekali," ujar Luis. Suaranya yang keras membangunkan Jose dari tidurnya.

Badan Jose yang masih lemas, berusaha ia angkat dari sofa. Namun apa daya, hanya kuasa untuk duduk di sofa. Pandangan matanya masih kosong. Ia bagaikan orang pesakitan.
"Apakah hari sudah sore?" tanya Jose.

Luis tak menjawabnya secara langsung. Kepalanya diarahkan ke arah jam dinding. Yang tergantung di tas televisi. Secara tak langsung sudah menjawab pertanyaannya dari Jose.

Jarum jam menunjukan angka dua siang. Hampir seperempat hari waktu Jose habis. Habis oleh kegiatan tidur yang menyenangkan baginya.

"Apakah kau ingin memancing? Menunggu senja dengan memancing itu menyenangkan," pipinya yang keriput terangkat saat ia senyum.

"Mungkin lain waktu. Badanku masih lemas."
"Baiklah."

Luis meninggalkan Jose. Ia pergi ke belakang rumah. Mengambil peralatan memancing. Semua sudah tersedia di belakang rumah. Mulai dari senar hingga cacing kering sebagai umpan sudah ada. Tak perlu kerepotan ia mencarinya lagi. Karena alat-alat itu ia kumpulkan dan gunakan setiap hari. Sudah menjadi rutinitas pria tua tersebut pergi ke sungai untuk memancing.

Ketika ayahnya sibuk membawa alat-alatnya, Jose masih setia dengan televisinya. Tak bosan-bosan ia menatap sinar dari layar itu. Bukan acara musik lagi yang ia tonton, tapi sebuah siaran berita. Berita yang menyiarkan ramalan cuaca hari ini.

"Ayah masih ingin pergi memancing? Menurut perkiraan sore ini cuaca buruk," katanya dengan mata yang masih terfokus ke televisi.

"Itu kan hanya perkiraan. Jika kau malas ikut dengan ayah tak apa," ledeknya.

Benar juga perkataan ayahnya. Bukan perihal cuaca yang menjadi alasannya untuk bertahan di sofa. Tapi rasa malas yang utama selalu mendampinginya. Jika itu tak menghasilkan uang kenapa harus bergerak.

"Kameranya Ayah bawa ya? Nampaknya pemandangan sore di sungai sangat indah. Ayah ingin mengabadikannya."

Sebenarnya ucapan itu digunakan untuk membujuk Jose. Ia ingin anaknya pergi dan menikmati suasana luar. Tapi kemalasannya sudah menguasainya.

Luis sudah siap dengan tubuhnya. Siap dengan alat pancingnya. Ia pergi keluar rumah dan memacu mobilnya. Meninggalkan anaknya berdua dengan kemalasannya.

Langit tak terasa berubah gelap. Jarum di jam menghadap ke angka delapan. Luis belum kunjung pulang juga. Biasanya jam enam pun Luis sudah memarkirkan mobilnya di depan rumah. Namun hari ini tak kunjung pulang.

Jose mulai gusar dengan ayahnya. Ia mulai bisa meninggalkan sofanya. Sesekali mengintip jendela bahkan keluar dari rumah. Bukan ikan yang banyak atau besar yang ditunggunya. Hanya ayahnya yang ia tunggu-tunggu kedatangannya.

Angin kencang mulai menyerang tubuhnya. Jaketnya menggelembung tertiup angin. Tubuh Jose sempat hendak terhempas oleh angin yang mengamuk. Walaupun angin begitu kuat, rasa khawatirnya yang mengokohkan kaki-kaki malasnya.

Penantiannya tak sia-sia. Hampir setengah jam ia merasa kedinginan. Akhirnya sepasang sorot lampu mobil menuju rumahnya.

Seorang tinggi besar keluar dari mobil tersebut. Itu bukanlah ayahnya. Ayahnya tak memakai seragam polisi. Kenapa bukan ayahnya yang keluar dari mobil? Timbul pertanyaan dan harapan di otak Jose.

"Selamat malam. Apakah benar ini rumah Bapak Luis?" sapa pria itu.
"Ya benar. Dimana dia?" Jose bertanya-tanya dengan penuh khawatir.
"Di rumah sakit. Saat di jalan, mobilnya tertimba pohon yang rubuh tertiup angin."
Tanpa pikir panjang Jose meninggalkan pria tersebut. Ia pergi ke belakang rumah. Mengambil motornya dan pergi ke rumah sakit.

***
Sore itu cuaca sangat cerah. Pemuda yang biasanya hanya berbaring di sofa sekarang mulai berdiri. Berdiri di tepian sungai yang tenang. Sambil memegang pancing ia mengamati sekitar sungai.
Kakinya yang tak terbiasa berdiri lurus memaksanya untuk berduduk di atas tanah. Ia masih dengan pancingnya yang kailnya berada di dalam sungai. Menunggu seekor ikan yang menyambar umpannya.

"Bergerak. Pasti dapat," gumamnya.

Ia menggulung senarnya dengan cepat. Beradu kekuatan dengan makhluk yang berada di dalam air. Begitu semangat dirinya. Terlihat jelas dari tali urat tangannya yang menonjol keluar.

Adu tarik-menarik cukup berlangsung lama. Hingga dahi Jose mengeluarkan bulir-bulir air keringat. Yang mengkilap saat terkena sinar mentari sore. Dan akhirnya pertarungan itu usai juga. Dimenangkan oleh makhluk dalam sungai tersebut.
"Sial gagal," umpatnya.

Jose membuka tasnya yang ia bawa. Mengambil umpan yang berada di dalamnya. Saat mengambil  umpan itu tak sengaja ia mengambil juga selembar foto. Foto sebuah sungai.

Ia meletakkan wadah yang berisi umpan di atas tanah. Dan lebih tertarik dengan selembar foto yang tak sengaja diambilnya. Matanya terus mencocokan gambar di dalam foto dengan tempat yang ia singgahi.

"Tempat yang sama. Andai saja waktu itu aku ikut denganmu. Kita pasti duduk disini dengan waktu bersamaan."



Radar Banyumas, 4 Agustus 2019

Post a Comment

0 Comments