Cerpen : Berita Corona dan Sebuah Ingatan





Berita Corona dan Sebuah Ingatan
Oleh: Afik Fathur Rohman

Rumah itu bercat putih. Semilir angin cahaya melewati jendela.  Pak Agus merasakan angin dan bias cahaya lewat jendela. Rumah itu memang dipersiapkan untuk sirkulasi udara berjalan baik. Ia nyaman di rumah itu. Sambil menepuk-nepuk dada, ia terus mengamati berita yang disiarkan di televisi. Televisi itu datar dan tipis. Sangat lebar. Dan tergantung di tembok ruang tengah. Kalau Pak Agus sedang melihat televisi, ia merasa sedang berada di dalam bioskop khusus pribadi.

Akhir-akhir ini, berita yang disiarkan di berbagai media masa menginformasikan keadaan dunia yang sangat darurat dan bisa dikata dunia serasa mau kiamat. Keadaan yang sangat genting. Untuk pertama kalinya dalam peradaban manusia modern. Pak Agus merasa takut. Tangannya gemetar mendengar dan melihat jumlah korban bertambah yang di siarkan di televisi. Orang-orang sedang dihebohkan dengan mahluk amat kecil dan mematikan. Tidak pandang umur, jabatan, maupun kelas sosial. Untuk dapat melihatnya pun harus menggunakan mikroskop. Berita-berita di televisi menyebut dengan corona atau covid-19.

Dalam berita itu, virus sudah sampai di Jakarta. Kota yang dekat dengan rumahnya. Ia membayangkan, seandainya terkena virus, maka semua yang dimiliki di dunia ini tidak ada artinya. Spontan otot-otot Pak Agus tegang. Tangan dan kakinya terasa dingin, berkeringat dan hampir tak ada rasa. Padahal, semua yang dimiliki ini tidak didapat dengan mudah. Butuh perjuangan.

***

Ia adalah seorang pekerja keras. Impiannya untuk memiliki rumah klasik dengan model arsitektur gaya Eropa lama itu terwujud. Dulu, ia hanyalah guru honorer. Lama mengabdi sebagai pengajar. Karena kebijakan pemerintah pada masa itu, membuat guru yang sudah lama mengabdi dapat diangkat menjadi PNS dengan mengumpulkan berkas-berkas pengabdian.
Hal itu bukanlah perkara yang mudah, saat pemberkasan kepada Dinas Pendidikan, tiba-tiba nama Muhammad Agus menghilang. Ia mempertanyakan hal itu. Pihak pengelola memberi tahu bahwa data itu hilang karena kerap berpindah-pindah tempat, yang membuat berkasnya tidak bisa ditersukan ke pusat.

Ia merasa ada mal administrasi terkait sepak terjangnya sebagai guru honorer. Ia pun menggugat. Dengan keberaniannya, gugatan itu dimenangkannya, sampai akhirnya proses pengangkatan diloloskan.
Selain menjadi guru, ia juga seorang penulis. Karya-karyanya sangat banyak. Bahkan terbitan karyanya selalu best seller. Ia selalu meniru tema-tema yang sedang dibicarakan oleh televisi dan koran-koran. Hanya dengan cara itulah, tulisannya bisa diterima, walaupun tidak pernah dikenang zaman. Oleh pihak sekolah, ia dianggap guru teladan yang mampu memberi contoh kepada murid-muridnya. Hampir setiap mengajar, ia sering pamer karya kepada siswa-siswinya, dengan harapan mereka bisa berkarya seperti dirinya dan memberi manfaat kebanyak orang lain. Sayangnya, kemampuan menulisnya Pak Agus tak pernah menjadikan siswa-siswanya juara lomba. Itu yang selalu membuat resah Pak Agus, ia sedikit kecewa.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Begitulah ucapnya saat mengajar. Kata-kata dari Pramoedya Ananta Toer itu selalu ia lontarkan kepada siswa-siswanya di setiap kelas, walaupun tak pernah ingat kata-kata itu ia dengar dari siapa. Seolah-olah kata-kata itu berbisik begitu saja pada dirinya.

***

Saat Pak Agus mengikuti acara pertemuan guru, ia bertemu dengan teman seperjuangan semasa kuliah.

“Hah, Pak Sigit. Tidak mungkin takdir Tuhan seperti ini.”

Mereka bersalaman, berpelukan dan saling menanyakan kabar. Barulah mereka duduk.

Sepantasnya teman lama yang dipertemukan. Bercerita kesana kemari, menceritakan kenangan masa kelamnya dalam berjuang dan menggeluti dunia pendidikan hingga sukses sedemikian rupa. Keduannya kini bertemu bagai saudara yang telah lama dipisahkan oleh pulau.

“Jadi bagaimana perjalananmu?” Tanya Pak Sigit membuka sebuah obrolan.
“Pengasinganku, maksudmu git?”
Pak Sigit lantas tertawa atas jawaban Pak Agus itu.

Sebenarnya, yang ia maksud dengan ‘pengasingan’ bukanlah proses pengasingan seorang diri di sebuah tempat, karena sebuah cita-citanya atau semacamnya. Ia memutuskan pengasingan diri sendiri, karena pada suatu hari beberapa tahun yang lalu, sebelum ia diangkat menjadi guru PNS. Pak Agus merasa tak lagi menemukan semangat dalam hidupnya. Lalu ia berhenti mengajar sementara, ia pergi ke kampung halaman ayahnya, yang bisa dibilang jauh dan cukup tertutup dari orang-orang kota. Karena minimnya ketahuan orang luar dan ketertarikan mereka mengunjungi pulau tersebut.

Pada saat waktu pengasingan itu, Pak Agus tak membawa telepon atau alat komunikasi; ia bersurat kepada keluarganya, teman atau ada hubungan penting dengannya, seperti dengan Pak Sigit. Di desa kecil tempat ayahnya dilahirkan, ia beradaptasi dan menyesuaikan diri, melambungkan imajinasinya dalam karya-karyanya itu. Membaca, menulis dan menulis. Ia telah mempelajari banyak hal, hingga menemukan semangat dalam hidupnya kembali yang bisa ia ketahui dengan menetap di kota yang sekarang ia tinggali, Jakarta. Kemudian ia menghubungi Pak Sigit kala itu, setelah pergi dari pengasingan.

“Untungnya kita dulu rajin ya, karena menjadi guru saja tidak cukup. Perlu mengurus pangkat, inilah itulah.” Ucap keluh Pak Sigit.
“Kalau aku si merasa beruntung hidup di era sekarang ini, guru sudah enak. Guru sudah nyaman. Yang terpenting sertifikasi keluar. Tak perlu banyak hutang. Terpenting ada laporan mengajar, pengabdian dan laporan menulis.”

Dari petemanan dengan Sigit inilah. Ia diajarkan cara mendesain rumah yang mewah dan klasik itu. Cara memilih barang dan seisi rumah yang bagus. Baginya seakan-akan Pak Sigit adalah malaikat, selalu membantu ketika sedang kesusahan. Begitu juga sebaliknya.

Dari perkenalan dan berteman dengan Pak Sigit itu, ia punya teman penerbit yang siap diajak kerjasama untuk menerbitkan karya-karyanya. Sehingga ia tidak perlu repot-repot menulis di koran atau jurnal ilmiah yang nilainya kecil.

***

Semua kenangan-kenangan itu kini berbayang-bayang saat melihat berita di televisi yang seolah-olah terus mencekik lehernya. Di televisi, orang-orang yang batuk. Tenggorokan kering. Nafas sesak dan berujung pada kematian.

Ia berjalan. Ditatapnya lagi televisi yang besar itu. Televisi hasil pertamakali sertifikasi. Yang ia idam-idamkan sedari dulu untuk menyaksikan sepak bola di malam minggu.

Pada televisi itu, kini tatapannya kosong. Berita virus itu makin gencar. Ia merenung dan terus merenung, apalah arti ini semua. Tempat tinggal yang dibuat dengan spesifikasi model Eropa lama itu, dengan berbagai ornamen di berbagai sudut ruang, seandainya virus corona menyerang, ia bisa apa.

Bahkan, mereka (orang-orang di negara maju) dengan berbagai kemajuan teknologinya, tidak bisa apa-apa.
Ia bergegas berwudhu dan melaksanakan ibadah sore hari itu. Dalam sujud, ia menangis sejadi-jadinya dan berdo’a untuk keselamatan bangsa dan keluarganya. Ia merasa dengan berdo’a dapat menerbitkan ketenangan dan kegembiraan dalam hatinya. Menerbitkan ketenangan itu penting baginya. Dalam do’anya, ia siap melepaskan semua yang dimilikinya, asal tetap hidup di dunia ini.

Post a Comment

0 Comments