JURNAL: STUDI PEMIKIRAN REVOLUSI TAN MALAKA

 STUDI PEMIKIRAN REVOLUSI TAN MALAKA

Gambar Tan Malaka (Sumber Kitlv)


Afik Fathur Rohman
1817503002
e-mail: afikfathur98@gmail.com 
Mahasiswa Prodi Sejarah Peradaban Islam
Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora
Institut Agama Islam Negeri Purwokerto
2020
Jl. Jend. Ahmad Yani No.4 A Purwokerto Utara, Banyumas, Jawa Tengah 


Abstrak

Penelitian ini berusaha melacak kembali mengenai sosok Tan Malaka sang bapak republika yang dilupakan banyak orang. Ia merupakan tokoh pahlawan nasional. Melalui keputusan Presiden No.53 Tahun 1963. Soekarno yang sempat bersitegang dengan Tan Malaka pada periode revolusi justru pada 23 Maret 1963 diangkatnya sebagai pahlawan nasional. Selain sebagai tokoh pahlawan nasional, Tan Malaka juga dikenal sebagai tokoh pemikir dan filosofi kiri-revolusioner. Studi pendahulu telah berkontibusi tentang Tan Malaka pada kajian-kajian mengenai sejarah komunisme di Indonesia secara general dan pemikirannya secara partikular. Penelitian ini, mencoba memberikan paparan mengenai pemikiran Revolusioner Tan Malaka. Penelitian ini menggunakan kajian pustaka dengan mengumpulkan sumber-sumber dari buku, jurnal dan artikel. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian sejarah.

Kata Kunci: Tan Malaka, Revolusi.

A. Pendahuluan

Tan Malaka merupakan salah satu tokoh pahlawan nasional Republik Indonesia, yang menggunakan revolusi sebagai alat perjuangannya. Ia digambarkan oleh Yamin, Naar de ‘Republik Indonesia’ yang ditulis oleh Tan Malaka pada tahun 1925 di Singapura merupakan manifesto politik pertama di Indonesia yang membentuk imaji bangsa (dalam Gregorius, 2019).

Sebagai pahlawan, Tan Malaka juga menuangkan berbagai ide gagasan ke dalam buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Di antaranya yang peneliti ketahui adalah, Menuju Republik, Aksi Masa, Madilog, SI Semarang dan Onderwijs, Bapak Republika yang dilupakan, Manifesto Jakarta, Menuju Republik Indonesia, Nasrani dalam Tinjauan Madilog, Parlemen atau Soviet, Rencana Ekonomi Berjuang, Semangat Muda. Cukup banyak kontribusi yang disumbangkan Tan Malaka. Sebagai tokoh, ia adalah seorang pejuang militan, radikal, revolusioner serta banyak melahirkan pemikiran-pemikiran berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia (Faisal, 2015). Dengan perjuangan inilah, ia dikenal dengan tokoh revolusioner.

Dalam bukunya yang berjudul Aksi Masa, Tan Malaka menuliskan bahwa revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Menurutnya, sebuah revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat. Atau dalam kata-kata yang dinamis, dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam (Malaka, 2000: 11-12).

Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pelarian di luar negri, dan secara tak henti-hentinya diancam penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Selain di Belanda, ia pernah tinggal di Rusia (Faisal, 2015). Siapa sebenarnya Tan Malaka hingga menjadi tokoh pahlawan dan tokoh gerakan revolusioner?

Dari uraian yang telah dipaparkan diatas. Penelitian ini menjadi penting untuk dikaji agar dapat mengetahui tokoh Tan Malaka dan pemikirannya tentang revolusioner. Adapun nantinya penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan tertulis berupa pengetahuan ilmiah, untuk mengetahui dan menambah wawasan pengetahuan tokoh pahlawan dan pemikir Indonesia.

B. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi penelitian sejarah. Metode itu sendiri merupakan cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan. Peneliti mengikuti para ahli sejarah. Mereka sepakat untuk menetapkan empat kegiatan pokok dalam meneliti sejarah, yaitu heuristik, verifikasi (kritik sumber), interpretasi dan historiografi. 

Penelitian ini secara keseluruhan menggunakan kajian pustaka (library research) dengan mencari sumber-sumber tertulis yang berkaitan dengan pemikiran Tan Malaka. Sumber-sumber tersebut berupa buku, jurnal dan artikel lepas yang dianggap valid sesuai dengan objek kajian yang akan diteliti. Dalam langkah ini disebut heuristik. Setelah sumber-sumber terkumpul, kemudian peneliti melakukan verifikasi. Verifikasi merupakan suatu langkah mengkritik sumber untuk mengetahui keaslian sumber (otentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern; dan keabsahan sumber (kredibilitas) yang ditelusuri melalui kritik intern (Dudung, 2019: 108).

Selanjutnya yaitu interpretasi. Dari berbagai sumber-sumber yang didapat, kemudian peneliti akan menganalisis secara terminologis dari data yang memaparkan mengenai pemikiran Tan Malaka. Langkah yang terakhir yaitu penulisan sejarah (historiografi) dari sumber-sumber yang telah di dapat dan dianalisis oleh peneliti. 

C. Tinjauan Pustaka

Dalam sebuah penelitian perlu adanya suatu dukungan, seperti halnya dukungan dari hasil penelitian terdahulu yang bahasannya sejenis. Dari berbagai sumber yang peneliti temukan tentang Tan Malaka, atau tentang studi pemikirannya yang dapat dijadikan sebagai tinjauan untuk membandingkan dengan topik yang serupa dalam penelitian ini diantranya seperti Jurnal Pemikiran Sosiologis Volume 6 No. 2, Agustus 2019 yang ditulis oleh Gregorius Ragil Wibawanto dengan judul “Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia”. Hasil dari penelitian ini menelaah tentang kemunculan materialisme dialektis Tan Malaka di tahun 1920-an dan membahas posisinya dalam sejarah ilmu sosial Indonesia.

Selain jurnal diatas, peneliti juga menggunakan buku yang ditulis oleh Tan Malaka pada tahun 1926 di Singapura yang berjudul Aksi Masa terbitan Teplok Press tahun 2000. Peneliti akan menggunaka buku ini sebagai sumber primer, sebagai referensi terkait pemikiran revolusinya dan sebagai obyektivitas dalam penelitian ini. 


D. Landasan Teori

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan biografis dan sejarah pemikiran. Kedua pendekatan ini bertujuan untuk mengetahui gambaran suatu peristiwa yang terjadi dalam konsep tertentu. Peneliti menggunakan pendekatan biografis karena sangat sistematis berkaitan dengan biografi Tan Malaka sebagai objek kajian ini. Pendekatan biografis yaitu kajian tentang seorang tokoh yang dianggap menarik untuk dikaji mulai dari riwayat hidup sampai akhir hayatnya. Biografi adalah sejarah, dengan biografi dapat dipahami para pelaku sejarah, zaman yang menjadi latar belakang biografi, dan lingkungan sosial-politiknya (Kuntowijoyo, 2003: 203).

Mengenai sejarah pemikiran R. G. Collingwood dalam The Idea of History mengatakan bahwa semua sejarah adalah sejarah pemikiran, pemikiran hanya mungkin dilakukan oleh individu tunggal dan sejarawan hanya melakukan kembali pikiran masa lalu itu. Untuk menghadapi tugas-tugasnya, teori sejarah pemikiran memiliki pendekatan, yaitu kajian teks dan kajian konteks sejarah (Kuntowijoyo, 2003:189-191). 

Pertema, kajian teks. Bagaimanapun, sejarah pemikiran selalu dimulai dari teks. Untuk itu, penelitian ini menggunakan teks-teks utama Tan Malaka sebagai sumber primer, yaitu ide yang dituliskan dalam bukunya yang berjudul Aksi Masa. Kedua, yaitu kajian konteks sejarah. Artinya, selain penelitian ini menggunakan teks-teks Tan Malaka, penelitian ini juga memanfaatkan sumber sekunder yang terbilang relevan dan efektif sebagai penjelas konteks. Sumber tersebut termasuk, namun tidak terbatas pada tinjauan pustaka yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan dan teori tersebut untuk megetahui biografi Tan Malaka dan memahami revolusi dalam pemikirannya. 

E. Pembahasan

1. Kelahiran Tan Malaka

Tan Malaka lahir dari pasangan Rasad dan Rangkayo Sinah yang diberi nama Ibrahim. Di lahirkan di Desa Suliki, Sumatera Barat pada tahun 1897 (Gregorius, 2019). Setelah Ibrahim dewasa, ia diberi gelar pusaka Ibrahim Datuk Tan Malaka. Sebagai seorang datuk yang dituakan selangkah dan di tinggikan. Artinya Tan merupakan orang yang dipandang oleh kaumnya, sehingga gelar datuk diberikan padanya. 

Ayah Tan adalah seorang mantri kesehatan yang pernah bekerja untuk pemerintah daerah setempat. Namun dalam artikel lain yang ditulis oleh Zul Helmi, ayah Tan bekerja sebagai Vaksinator di Alahan Panjang dan Tanjung Ampalu. Tan lahir dalam lingkungan keluarga yang menganut agama secara puritan, taat pada perintah Allah serta senantiasa menjalankan ajaran Islam. Ibunya sering menceritakan kisah-kisah kehidupan para nabi, mendengarkan cerita itu mata Tan berkaca-kaca. Sejak kecil Tan dididik oleh tuntunan Islam yang ketat, suatu hal yang lazim dalam tradisi masyarakat Minangkabau yang amat relegius, sehingga memberikan corak pemikiran tersendiri pada diri Tan.

“…Sumber yang saya peroleh dari agama Islam inilah sumber yang hidup dalam diri saya… Meskipun berbagai angin taufan pengaruh dari derasnya pemikiran dan berbagai kejadian di Eropa mengaduk-aduk, menyeret sampai menghilirkan saya keperistiwa 1917, minat saya terhadap Islam terus hidup… Kejiwaannya masih tersimpan dalam subconscious…, (Malaka, 2000: 11).”

Selain Tan semasa kecil mempelajari ilmu agama Islam dengan baik, ia juga belajar ilmu silat. Mengingat kelahiran Tan dan sosial Minangkabau, tradisi pada masa itu seorang laki-laki belumlah dapat dikatakan sebagai seorang lelaki sepenuhnya jika tidak pandai bersilat. Agaknya, dikarenakan situasi sosial yang demikianlah Tan semasa kecil belajar ilmu silat yang kemudian menjadi bekal dalam hidupnya untuk sekedar membela diri.

Tampaknya ilmu silat yang dipelajari oleh Tan semasa kecil sangat berguna ketika ia kemudian merantau mengelilingi dunia. Ketika polisi menyangka Tan sebagai Daqoond buronan Singapura ketika beliau bertempat di Kowlon, Shanghai. Dalam kesempatan lain. Tan memenangkan pertarungan dengan menggunakan silat Minangnya melawan dua orang polisi Hongkong yang memakai jurus Kungfu (Malaka, 2008: 49).

2. Pendidikan Tan Malaka

a) Pendidikan di Indonesia

Tan Malaka mengenyam pendidikan pertama di Sekolah Rakyat (SR) Suliki. Atas saran dari gurunya, Tan kemudian melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru Negeri (Kweekschool) pada tahun 1908. Selama menjadi murid Kweekschool, Tan sangat menikmatinya, karena fasilitas yang sangat memadai juga menerapkan disiplin tinggi. Masuk sekolah Eropa yang membawakan gagasan-gagasan pencerahan yang membuat Tan mengenali seperangkat tata cara berpikir yang lebih maju untuk menggapai pencerahan akal budi.

Kemudian Tan berpindah di bukit tinggi (fort de kock) dan lulus di tahun 1913 dengan nilai yang memuasakan. Seiring dengan saran guru Horensma, Tan melanjutkan pendidikannya ke sekolah Pendidikan Guru Negeri (Rijkskwekschool) di Belanda (Arif, 2013: 21).

b) Pendidikan di Belanda

Ada beberapa pendapat tentang waktu datangnya Tan Malaka ke Belanda, pendapat pertama mengatakan bahwa Tan datang ke Belanda pada tahun 1913. Namun, pendapat lain ada yang menyatakan Tan datang ke Belanda pada 10 januari 1914. Melihat pada masa itu, tentu pendapat kedua lebih diterima. Mengingat alat transportasi yang digunakan oleh Tan Malaka menuju Belanda pada saat itu menggunakan alat transportasi laut yang tentu memakan waktu perjalanan hingga berbulan-bulan (Arif, 2013:36).

Pada awal kedatangan di Belanda, Tan merasa kesulitan untuk beradaptasi, baik dengan sandang, pangan, budaya, maupun tempat tinggal. Terlebih dengan masalah iklim yang jelas sangat berbeda dengan kampung halamannya. Ketidakmampuannya beradaptasi membuat kesehatannya menurun. Pada tahun 1915 merupakan tahun puncak kesehatannya sangat menurun.

“… Entah karena kekurangan makan, entah lantaran olah raga yang tidak terpimpin, entah keduanya, maka tiga bulan sebelum ujian saya sakit pleuritus. Setelah tak bisa berjalan lagi saya bilang kepada nyonya rumah. Baru dokter didatangkan…, (Malaka, 2008:37).”

Tidak hanya dalam urusan pangan, papan, budaya dan iklim. Dalam urusan materi pelajaranpun Tan perlu beradaptasi.

“…Pada awal di Rijkskweekschol Haarlem, dengan sedih saya saksikan, bahwa pelajaran yang saya terima di Kwekschool Bukit Tinggi sama sekali tidak sambung-menyambung. Misalnya sama-sama diajarkan ilmu tumbuh-tumbuhan, tetapi tumbuh-tumbuhan yang mesti diperiksa dan diajarkan di Negeri Belanda tidaklah sama dengan di Indonesia. Begitu juga dengan ilmu bumi, ilmu mendidik, ilmu menggambar, ilmu ukur dan lain-lain. Ada juga ilmu yang sama sekali mesti dipelajari dari permulaan seperti sejarah Belanda, sejarah dunia, aljabar, ilmu ukur ruang, trigonometrie, dan ilmu kodrad (mecanica). Sebaliknya ada ilmu yang sudah saya pelajari di Bukit Tinggi tetapi tidak diajarkan atau Cuma sedikit sekali diajarkan di Haarlem, ialah ilmu pisah dan ilmu pertanian. Yang terakhir dan yang buat guru Belanda, tentulah bahasa Belanda. Sepintar-pintar orang Indonesia dalam mempelajari bahasa asing, maka pemuda Belanda berumur 14-20 tahun tentulah lebih paham bahasa ibu dari masyarakatnya dan pada orang Indonesia yang Cuma beberapa jam sehari saja menerima pelajaran bahasa Belanda dikelasnya yang hanya selama 6 tahun… (Malaka, 2008: 39).”

Dalam mengatasi biaya hidupnya Tan mengajarkan bahasa Melayu di kalangan orang-orang Belanda yang akan bertugas di Hindia-Belanda. Kesulitan hidup yang dialami olehnya, Tan pernah berfikir untuk menjadi pedagang saja, dan pada waktu lain ia ingin masuk akademi militer. Dalam belajar, Tan menyerap idiologi yang menjadi titik perjuangan sampai akhir hayatnya. Tan bertemu dengan Herman (pemuda pelarian dari Belgia) dan Vander Mey (orang Belanda) sedikit membuka mata tan terhadap politik. Watak Tan terbentuk dari membaca, belajar dan dilengkapi oleh penderitaan hidup.

Tan Malaka berkenalan dengan teori revolusioner, sosialisme dan marxisme-komunisme melalui beberapa buku dan brosur. Tan sempat diminta Suwardi Suryaningrat atau yang kita kenal sekarang dengan nama Ki hajar Dewantara untuk mewakili Indische Vereeniging dalam kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologi di Kota Deventer. Setelah berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia dan Belanda, ia semakin yakin bahwa melalui jalan revolusi, Indonesia harus bebas dari penjajahan Belanda. Keyakinan tersebut ia pegang secara konsisten. Itulah masa awal dalam pengembangan politiknya Tan Malaka.

3. Pulang Ke Indonesia, Masa Pembuangan dan Kematiannya

Pada bulan November 1919, Tan Malaka pulang ke Indonesia dan menjadi guru di sekolah yang didirikan oleh perusahaan perkebunan Eropa. Di sana, Tan mengajar anak-anak kuli kontrak perkebunan tembakau milik orang Jerman dan Swiss, di Deli Sumatera Utara sejak Desember 1919 sampai 1921 (Zul, 2016). Pada bulan Februari 1921, Tan Malaka sudah menginjakkan kakinya di Batavia (Jakarta) dan kemudian melanjutkan perjalannnya ke Jogja untuk menemui Sutopo. Dari beliaulah Tan mengenal tokoh-tokoh pergerakan rakyat dalam SI (Serikat Islam) seperti Tjokroaminoto, Semaun dan Darsono.

Tindakan yang diambil oleh pemerintah Belanda memang teraplikasiakan secara nyata, tepat pada 29 Mare 1922, Tan Malaka dibuang ke Belanda. Selama dalam masa pembuangan, Tan tidak hanya menetap di Belanda. Ia juga sempat menyinggahi Berlin, Jerman (Arif, 2013:113). Tan melakukan pelariannya lebih kurang 20 tahun, dikejar-kejar polisi rahasia di Manila, Hong Kong, Bangkok, Singapura dan kota lainnya. Selama dalam pelarian, ia menulis brosur dan diterbitkan di Canton pada tahun 1924 yang berjudul Naar Repoeblik Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Ratusan jilid buku tersebut lantas diseludupkan hingga diterima oleh para tokoh pergerakan, termasuk Soekarno. Buku inilah yang menjadi bukti bahwa Tan adalah pencetus gagasan Indonesia merdeka jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945. Dengan Menuju Republik Indonesia merupakan konsep pertama kalinya “Republik Indonesia” dicanangkan. Gagasan Tan Malaka ini disampaikan sembilan tahun sebelum Soekarno menulis Menuju Indonesia Merdeka tahun 1933 (Zul, 2016).

Tan Malaka bergegas ke Manila, disana ia tertangkap oleh polisi pemerintah penjajah Filipina dan dibuang ke Amoy. Dari Amoy Tan bertolak ke Shanghai pada tahun 1931. Namun, invasi Jepang pada waktu itu telah mnyentuh daerah Amoy, kemudian memaksakannya untuk beranjak ke kota Kownlon. Disini polisi Jepang berhasil menangkapnya. Pada akhirnya, di akhir tahun 1931, Tan dipersilahkan keluar dari Kownlon dan beranjak ke Shanghai (Malaka, 2008: 431-438).

Invasi jepang pada akhirnya menyentuh sebagian besar daerah China, yang mengharuskan Tan pergi menuju Rangoon, Birma. Beranjak dari sebuah kota yang dijadikannya untuk persinggahan sementara. Tan kembali melanjutkan pelariannya ke Penang. Pada Tahun 1337 ia beranjak ke Singapura. Namun karena invansi Jepang meluas pada tahun 1942 semakin meluas hingga ke Singapura, ia lagi-lagi harus meninggalkan kota itu dan pergi menuju Penang. Dari kota inilah kemudian berlayar ke Indonesia pada Mei 1942 (Arif, 2013: 196-198).

Pada 1 Oktober 1945, Tan Malaka berkeliling ke Jawa sampai ke Kediri guna mengobarkan semangat revolusi rakyat untuk melawan sekutu. Tan menyadari bahwa kemerdekan penuh hanya dapat di capai dengan mengangkat senjata, oleh karena itu pada 19 desember 1948 ia memutuskan menyerukan kepada rakyat untuk melakukan perlawanan secara total kepada Belanda.  Seruan itu menyelut rasa tidak senang dari pihak militer maupun pemerintah Indonesia, yang lebih memilih cara bernegoisasi pada sekutu. Ketika Belanda menyerang Kediri, Tan melakukan per-gerilyaan di daerag sungai Brantas desa Gringging. Disanalah ia berhasil ditangkap dan di-eksekusi di desa Selopang, kecamatan Semen, Kediri. Pada akhirnya Tan meninggal ditangan Brigade Sikatan atas perintah Letnan Dua Sukotjo pada 21 Februari 1949 (Arif, 2013: 274).

4. Pemikiran Tan Malaka

 a) Revolusi, Marxis dalam Pemkiran Tan Malaka

Menurut S. N. Eisenstadt (dalam Faisal, 2015) menerangkan bahwa revolusi adalah kejadian luar biasa yang merubah tatanan sosial ekonomi suatu negara. Selain disertai ideology, revolusi juga dilakukan masyarakat dengan melibatkan organisasi dan emosi yang ada dalam jiwa masyarakat. Revolusi bukan suatu perubahan atau gerakan yang bersifat kontemporer. Revolusi terjadi karena berbaai perubahan sosial yang berkelindan di tengah masyarkat, kemudian menjadi konflik, dilanjutkan dengan mobilisasi masyarakat serta organisasi politik lewat suatu pergerakan untuk menuju perubahan sosial.

Karl Marx menjelaskan bahwa revolusi adalah suatu keharusan karena kelas penguasa tidak akan mampu digulingkan melalui diplomasi. Menurut Marx. revolusi adalah perubahan dan pergantian kekuasaan dari kelas lama oleh kelas baru. Pergerakannya pun bersifat kekerasan dengan melibatkan kekuatan buruh, sebab kekuasaan lama akan mempertahankan diri dan tidak akan bersedia menyerahkan kekuasaannya dengan suka rela (Faisal, 2015). Pemikiran Marx seperti yang telah dijelaskan, bisa dilihat dari bukunya yang berjudul; Manifesto Komuni.

Setelah revolusi berhasil, maka, dibuatlah ditaktor proletarian yang tugasnya membentuk masyarakat komunis. Setelah itu, baru tercipta masyarakat komunis, dan pola hidup masyarakat kembali menjadi masyarakat primitif (Faisal, 2015).

Lalu, bagaimana konsep revolusi menurut Tan malaka? Menurutnya, revolusi tidak lahir dari gagasan manusia, revolusi lahir atas perubahan sosial ketika terjadi pertentangan kelas yang tajam yang disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial, politik dan psikologi. Semakin kuat penindasan, maka akan semakain menimbulkan reaksi dari masyarakat yang tertindas untuk melakukan perlawanan atau revolusi.

“… Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang dalam membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan, tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri. Sebuah revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat. Atau dalam kata-kata yang dinamis, dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam. Ketajaman pertentangan yang menimbulkan pertempuran itu ditentukan oleh pelbagai macam faktor: ekonomi, sosial, politik, dan psikologis. Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak. Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah semakin besarlah hantu revolusi. Tujuan sebuah revolusi ialah menentukan kelas mana yang akan memegang kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan revolusi itu dijalankan dengan "kekerasan"… (Malaka, 2000: 11-12).”

Bagi Tan malaka, revolusi tidak melahirkan ditaktor atau kediktatoran yang dilakukakan oleh penguasa baru. Revolusi melahirkan sebuah tatanan masyarakat baru yang beradab dan negara menghargai nilai kemanusiaan dan hak politik warga negara. Bukan ditaktor proletar yang menindas rakyat. Ini yang membedakan revolusi Tan Malaka dengan revolusi Karl marx.

 b. Tan Malaka dan Revolusi Indonesia (Sebuah Khayalan sang Revolusioner)

Tan Malaka menjelaskan bahwa revolusi itu disebabkan oleh pergaulan hidup dan tak dapat diciptakan oleh otaknya sendiri. Revolusi terjadi akibat hal tertentu dan dari tindakan-tindakan masyarakat. Hal ini telah dijelaskan olehnya dalam buku yang berjudul Aksi Masa.
Selanjutnya, Tan menuliskan pertanyaannya, yaitu bagaimana rupa revolusi itu di Indonesia? Tan menjelaskan bahwa revolusi di Indonesia sangat terkait dengan kondisi ssosial politik dan ekonomi Indonesia itu sendiri. Masyarakat Indonesia semakin lama semakin miskin, melarat, tertindas dan terkung-kung. Pertentangan kelas dan kebangsaan semakin lama semakin tajam. Pemerintah Belanda semakin lama semakain reaksioner dan bangsa Indonesia dari hari ke hari semakin bertambah revolusioner dan tidak mengenal kata damai (Malaka, 2000: 74).

Hakikatnya, syarat revolusi sudah terpenuhi. mengingat Indonesia ketika itu berada di tangan penjajahan Belanda. Kekayaan yang dimiliki Indonesia dikuasa oleh Belanda, rakyat hanya menjadi budak di negerinya sendiri. Menurut Tan, ketika belum masuk ke Indonesia, negeri Belanda hanya negeri tani dan tukang warung kopi. Sekarang negeri tersebut, selain diisi petani juga diisi sudagar. Seandainya Belanda tidak mempunyai negeri jajahan sebesar Indonesia, maka Belanda tidak akan bisa seperti Belgia dan Swedia (Faisal, 2015).

Seterusnya, Tan membahas revolusi Indonesia sebagian kecil menentang sisa-sisa feodalisme dan sebagian yang tersebar menantang imperialisme Barat yang lalim. Juga di dorong oleh kebencian bangsa Timur terhadap bangsa Barat yang menindas dan menghina mereka.

“… Revolusi kita juga tidak akan menyamai revolusi borjuasi seperti di Perancis tahun 1789 karena borjuasi kita masi terlampau lemah dan feodalisme sebaian besar sudah dimusnahkan oleh imperialism Belanda. Juga ia tidak menyamai Revolusi Perancis tahun 1870 karena aaknya mempunyai tenaga-tenaga produksi lebih cerdas, tambah lagi nisbah sangat berlebihan… (Malaka, 2000: 76-77).”

Revolusi Tan Malaka mengalami kegagalan. Walau demikian, konsep revolusi Tan tetap mengusik benak mereka yang kritis. Kita juga tidak bisa membayangkan, jika pada waktu itu revolusi Tan yaitu menuju merdeka seratus persen menang dan diikuti? Memang sulit untuk menjawabnya. Pascanya Tan Malaka di anggap sebagi orang pembrontak dan lain-lain. Gambaran Tan oleh Gregorius (2019) menyebutnya Tan Malaka sebagi Pejuang revolusioner yang kesepian.


F. Penutup

1. Kesimpulan

Setelah berkenalan dengan teori Revolusioner, inilah awal dalam pengembangan dan politik Tan Malaka. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa Tan Malaka merupakan sosok legendaris, karena mampu memberikan kontribusi pemikirannya kepada bangsa Indonesia ini. Ironisnya adalah dari sekian banyak presiden di Indonesia, hampir tidak pernah ada yang menyebutnya dan mengenangnya pada setiap peristiwa peringatan Kemerdekaan Indonesia. 

Meski banyak tulisan yang berkeliaran, menunjukan banyak ahli sejarah yang mengakui sosok Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Pemerintah justru mengaburkan sosok yang memberikan kontribusi pemikiran Tan Malaka terhadap eksistensi dan masa depan bangsa dan negara. Boleh dikata, hilangnya sosok Tan Malaka tidak lepas dari peran Orde Baru yang sangat anti dengan tokoh dan hal-hal yang berbau komunis. Menurut sepengetahuan peneliti Tan Malaka dianggap sebagai cikal bakal berkembangnya ideologi Marxis-komunis di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Abdurrahman, Dudung. 2019. Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta: Ombak.
Kuntowijoyo. 2005. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Tirta Wacana.
Malaka, Tan. 2000. Islam dalam Tinjauan Madilog. Jakarta: Penerbit Widjaja.
---------------. 2008. Dari Penjara ke Penjara. Jakarta: Narasi.
Rahman, Arif. 2013. Tan Malaka; Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah. Cet 1 Jogjakarta: Palapa.

Jurnal:
Faisal & Firdaus Syam. “Tan Malaka, Revolusi Indonesia Terkini” dalam Jurnal Politik Vol. 11 No. 01. 2015. 
Helmi, Zul. “Konsep Sosial Politik Tan Malaka dan Relevansinya Bagi Hak Asasi Manusia” dalam Journal Ilmu Agama UIN Raden 2016.

Wibawanto, Gregorius Ragil. “Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia” dalam Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No. 2, Agustus 2019.

Sumber lain:
http://repository.uin-suska.ac.id/3974/3/BAB%2011.pdf diakses pada 8 Mei 2020.
http://digilib.uinsby.ac.id/5894/6/Bab%203.pdf diakses pada 8 Mei 2020.

Sumber Gambar:
http://hdl.handle.net/1887.1/item:790518 (KITLVNL) diakses pada 9 Mei 2020.

Post a Comment

0 Comments