CERPEN: MEMBACA WAKTU

Membaca Waktu








Oleh: Afik Fathur Rohman

---------------------------------------------------------------------

Jam dinding terus berjalan. Matahari mulai meninggi di hari Selasa yang terasa menyebalkan. Mata kuliah jam pertama selalu membuatku gugup hingga jantung terdegup. Langkah terburu-buru, keringat merembas di pori-pori.


Hidup sebagai mahasiswa yang tinggal di pondok pesantren seolah memiliki beban ganda dalam belajar. Inilah yang menyebabkanku di cap santri buronan. Selalu membelot pengajian ba’da subuh karena lebih mementingkan kuliah. Di pesantren, mandi itu sudah antri sejak usai subuh. Tak selesai sampai di situ. Aku masih harus direpotkan dengan menahan kencing dan buang air besar. Untungnya, tadi pagi aku terbangun tepat setelah alarm meraung-raung. 


***


Aku bergegas ke parkiran pesantren, “Aku kelupaan kunci motor”, pendarku kesal.


Seketika bergegas ke kamar lagi. Melucuti setiap jengkal lemari. Aku berbalik dan kulihat sesobek kertas yang menggelantung di kamar, aku baca perlahan: “sepeda motormu aku pinjem,” Riki Gepeng


Seketika wajahku merah. Apalah daya. Begitulah kebiasan santri di pondok pesantren. Meminjam dengan sangat mudah. Aku ke kamar sebelah. Masih ada Kang Wahyu yang tertidur. Aku lihat jadwal kuliahnya yang terpampang di lemari. Aku bergerak secara perlahan untuk mengambil kunci sepeda motor yang menggelantung.


“Pinjem ya kang,” bisikku lirih sembari mengendap-endap persis sepereti maling di film-film.


  Aku menutup pintu dengan sangat perlahan. Lalu dengan cepat melesat ke parkiran. Sekarang waktunya mata kuliah filsafat. Pak Aji pasti datang tepat waktu. 


***


Aku duduk di kursi paling tengah dalam kelas. Posisi yang pas dan aku sukai tenimbang duduk di depan, apalagi paling belakang.  


Dari irama langkah kaki, aku tahu Pak Aji datang. Kumis tipis, wajah putih bersih dan rambut lebat itu mulai terlihat. Ia tersenyum dengan gigi yang rata seakan menyapa luasnya dunia. Langkahnya pelan. Menatap kami, kemudian mengucapkan salam. 


Dalam mengajar, Pak Aji hanya memegang absensi dan bolpoin. Seolah ilmu sudah berada di luar kepala. Ia sampaikan tentang takdir dan nasib. Menurutnya takdir, dan nasib itu ada.  Aku sudah pernah diskusi hal itu dengan Kang Wahyu. Konon, nasib dan takdir itu berbeda. Nasib telah ditentukan oleh Tuhan, sedangkan takdir dibentuk oleh doa-doa manusia kepada Tuhan. Gagasan yang sama juga disampaikan oleh Novi, teman sekelas. Gara-gara pernyataan yang sama, aku dan Novi ditunjuk Pak Aji menjadi satu kelompok dalam penyusunan tugas mata kuliah filsafat selanjutnya.


Pak Aji sempat menambahkan dan menyimpulkan pembahasan takdir. Bahwa takdir itu ada dua macam, yaitu takdir absolut dan relatif. Takdir absolut adalah sesuatu yang manusia tidak bisa mengubahnya. Misalnya ketika kita lahir dengan mata dua, dengan cara apapun kita tidak bisa mengubah jumlah mata menjadi tiga apalagi empat. Takdir relatif itu sebaliknya takdir absolut, misalnya kita terlahir dengan hidung pesek, maka kita bisa menyempurnakan dengan operasi plastik. 


Aku belum puas atas pembahasan takdir dan nasib. Pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang di kepalaku tak sempat aku tanyakan karena jam kuliah telah usai. Apakah orang yang dibunuh atau orang yang bunuh diri itu takdir? Perjodohan itu nasib atau takdir? 


“Sudahlah jangan berpikir terlalu dalam,” gumamku.   


***


Kisah tentang filsafat itu berlanjut. Aku dan Novi melanjutkan kuliah di kampus yang sama, Leiden University. “Bukankah ini takdir atau nasib?” Gumamku teringat pembahasan dulu.


Aku beranjak dari tempat duduk menuju cafe. Lapar sudah tak tertahankan. Seseorang dengan tangan lembut menepuk bahuku. 


“Novi” kaget.


“Gimana kabarnya?” tanya Novi dengan tersenyum manis, seakan-akan mendapatkan hadiah yang sangat sepesial.


“Baik,” jawabku membalas senyumnya. 


“Akhirnya bertemu juga, kuliah sekampus,” ucap Novi.


 “Ini takdir atau nasib?” 


Layaknya teman lama, kami sangat asik ketika bertemu. Banyak yang kami perbicangkan, dari negara yang pernah dijajah dan menjajah. Dunia seperti terbalik begitu saja seiring waktu berjalan.


Sudah enam bulan lamanya di Belanda. Baru kali ini bertemu dengannya, pertemuan yang tak disangka-sangka. Kami pun sempat berdiskusi terkait takdir dan nasib lagi. Dari perkuliahan filsafat yang diajar Pak Aji perihal takdir dan nasib selalu terngiang-ngiang di kepala. 


Takdir itu memang ada. Setiap kejadian, entah baik maupun buruk, pertemuam maupun perpisahan memang sudah diciptakan Tuhan. Tuhan itu memperkenankan manusia untuk memilih. Artinya, dalam kehidupan yang aku jalani, adanya aku dan Novi melanjutkan kuliah di Leiden University itu adalah nasib dan menjadi peranku di dunia.  Nasib itu sudah ditentukan Tuhan, tetapi takdir adalah negosiasi antara harapan manusia dengan kehendak Tuhan. Tuhan menciptakan padi manusia menakdirkan nasi.


Sebenarnya sudah sedari dulu aku menyukainya. Jika saja dulu dan sekarang Pak Kyai tidak melarang santrinya berpacaran, sudah mungkin aku mengungkapkan rasa padanya. “Konon, seorang yang suka bermain dengan perempuan tanpa ada batasan, ilmunya gampang hilang,” terngiang kalimat Pak Kyai saat berpamitan dulu.


***


Novi selesai lebih awal, sementara aku selesai setahun kemudian karena ingin jalan-jalan dan menikmati suasana di Eropa lebih lama.


Dalam kuliah, aku lebih banyak menulis. Ingin sekali aku terbitkan naskah novel tentang filsafat dan kehidupan. Namun tak berani karena belum meminta izin kepada orang-orang yang kisahnya kutuliskan. Aku jadikan Novi sebagai tokoh utama bersamaku di dalamnya. Aku rasa alur ceritanya pun belum usai.


Novel itu kubawa ke kampus tempatku kuliah pertama kali yang sedang membutuhkan dosen filsafat. Aku mendaftar dan cerita banyak tentang takdir dan nasib. Betapa sangat mengejutkannya setelah aku menjadi dosen. Ada Novi yang telah mengajar di kampus, yang sudah menjadi dosen setahun yang lalu.


“Tuhan, nasib apa yang telah engkau timpakan padaku”. Seolah ini semua adalah jawaban filsafat dan doa-doaku yang sunyi.


Post a Comment

0 Comments