CERPEN: Sepucuk Surat Dari Bapak

Sepucuk Surat dari Bapak
Oleh: Yachya Mutohir

Nama pena: @yahya_mahesa28


”Plak...!!”
Begitu kerasnya tamparan  yang mendarat dipipiku, kepalang bukan main sakitnya, terasa perih, panas dan pegal tentunya. Pipiku langsung merah lebam. Tapi aku tidak peduli dengan kondisi fisiku karena  lebih sakit lagi hatiku yang bila digambarkan seolah tersayat sembilu setelah mendengar umpatan yang diucapkan Bapak sembari berlalu setelah menamparku.
  “Dasar anak tidak tau diuntung! Gara-gara kamu lahir di dunia ini istriku jadi pergi untuk selamanya!”
Kata-kata  itulah yang selalu Bapak lontarkan sehabis menampar atau memukulku apabila hasil setoranku kurang, dalam hati ku bergumam, mengapa aku ada bila ahirnya tidak diinginkan seperti ini? Aku hanya beban bagi Bapak, Akulah yang telah menyebabkan Ibu pergi tepat setelah berjuang mengeluarkan aku ke dunia yang penuh kebengisan ini. Untuk apa sebenarnya aku diadakan oleh yang Maha mengadakan bila pada akhirnya nanti akan ditiadakan. Mungkin masih terlalu naif pemikiran seperti itu bercongkol di pikiran bocah begu nan dungu sepertiku. Terduduk sembari menahan sakit di kursi biru tepat di belakang pintu, aku mulai menyeka bekas air mata yang sudah mulai mengering.
Aku bergegas mengambil koran yang belum selesai ku antar ke rumah-rumah elit di blok B, memungutinya satu per satu kemudian berjalan setengah berlari menuju sepeda usang yang kusenderkan didekat pohon pisang. Ku lihat matahari belum terlalu tinggi. Kutaruh koran dikeranjang depan dan berlalu meninggalkan rumah yang penuh dengan kebisuan. Sepanjang perjalanan menuju perumahan tempat diamana biasanya ku mengantar koran, aku hanya termenung,  berfikir dengan keras dan  berharap menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan yang selalu kupikirkan sedari dulu. Mengapa Bapak sebegitu bencinya kepadaku? Bilamana memang sedemikian benci, mengapa dahulu waktu aku lahir tidak sekalian buang saja aku di panti asuhan? Ah... hanya pupus yang kudapati setelah pikiran berkunang-kunang memikirkan hal yang tak semestinya terjangkau oleh nalarku.
“Tiiiiinnnnttttttt!!!!”
 Bunyi klakson sepeda montor membuyarkan pemikiranku.
“Jangan melamun woy! Bahaya tau, untung saja Tuhan masih sayang denganmu, cek,,cek,cek.., dasar bocah edan!” Bentak pengendara montor yang hampir saja menabraku sembari berlalu menggelang-gelengkan kepalanya.
“Maaf” kataku lirih.
Hanya kata itu yang spontan keluar dari mulutku, entah si pengendara mendengar atau tidak, yang penting aku sudah mengutarakan permintaan maaf.  Sebenarnya dalam hati masih mengganjal akan pertanyaan, pernyataan dan kenyataan yang berkaitan dengan keberadaanku di dunia ini. Tak butuh memakan waktu yang lama, aku sudah tiba di perumahan Bumi Arca Indah, perumahan mewah nan megah yang diperuntukan oleh orang-orang elit, Rumah-rumah yang tertata rapi, tersusun dengan elegan  dan berkelas. Didalamnya terdapat patung seorang sedang menyunggi bumi letaknya tepat setelah pintu masuk perum. Saat awal aku mengantar koran ke perumahan Bumi Arca Indah, aku sebenarnya heran akan makna dan filosofi patung tersebut, mengapa ada patung Atlas di perumahan elit itu? Padahal Atlas adalah sosok titan yang dihukum oleh Zeus untuk menyunggi langit, akan tetapi mengapa hal demikian malah menjadi maskot? Entahahlah..., seiring berjalannya waktu aku tidak terlalu mempedulikan akan hal tersebut.

“Selamat pagi Pak” sapaku ramah pada satpam yang sedang jaga, sembari menuntun sepeda ku bergegas masuk.
“Tumben nak Rangga, jam 8 baru sampai sini, kamu tidak masuk sekolah?” tanya Pak Mansur, satpam perum Bumi Arca Indah yang selalu ramah. Walaupun perawakan pak Mansur  berkumis tebal dan berbadan besar, bisa dibilang mengerikan bagi orang yang belum mengenalnya, akan tetapi dia adalah orang yang baik.
“Saya mengantar koran ke perum Saphire dulu Pak, kalau urusan sekolah saya sudah ijin ke wali kelas akan masuk walau terlambat” jawabku sembari menyeka peluh yang sedari tadi bercucuran membasahi sekujur mukaku.
“Walau keadaanmu demikian, tetaplah semangat nak. Aku yakin Tuhan selalu bersamamu” Pak Mansur memberi motivasi dengan mata yang berkaca-kaca tanpa ku mengerti maksud dari setiap tindakannya kepadaku. Dimataku, Pak Mansur seperti halnya sosok Bapak yang kuimpikan. Pak Mansurlah yang selalu memberiku Roti karena mungkin ia tau bahwa aku selalu tidak sarapan pagi. Aku bergegas bergerak maju ke perumahan-perumahan megah nan elit itu. Aku melempar tiap-tiap gulungan ke atas pagar besi bertralis.
“Koran..koran...koran...” Aku berteriak lantang sembari mengelilingi perumuhan hingga tak tersisa sedikitpun bangsal kertas koran di keranjang sepedaku.
***
Tetes demi tetes berjatuhan dari langit, tak terlihat hanya seperti titik berwarna putih yang mengumpul kemudian bersimfoni membentuk suatu pemandangan fatamorgana yang banyak orang aksarakan dengan nama kabut. Dingin menusuk menghujam menelanjangi kulit sampai ke tulang rusuk dan hampir menembus ke jantung. Pagi itu memang kemarau sedang melanda kota Purwokerto. Suhu sekitar tujuh belas derajat ini tidak mempan bagiku, karena aku sudah keliling mengayuh sepeda kesana-sini jadi hanya hangat yang kurasa. Tanpa terasa akupun sudah menjalani rutinitas ini selama bertahun-tahun dengan kekakuan dan kebekuan sikap Bapak yang masih tetap sama saja tanpa ada perubahan sedikitpun, bedanya di aku, aku yang dulu bilamana sehabis digampar menangis sekarang lebih kearah yang lebih realistis, yaitu  menuliskannya sebagai suatu kisah yang bertujuan untuk memotivasiku agar lebih maju dan koreksi diri. Keberuntunganpun rasanya memihak kepadaku, sekolahku walau sering absen tapi  nyatanya aku lulusan dengan nilai UN terbaik, predikat pelajar dengan nilai rapor terbaik selama tiga tahun berturut-turut dan selama tiga tahun belajar aku tidak dipungut biaya sepeserpun.  Hingga aku direkomendasikan untuk ikut bidikmisi di sebuah universitas ternama di Jogja. Nyatanya aku diterima di fakultas yang aku memang impikan dari kecil.
“Rangga! Mana hasil setoranmu bulan ini?” tanya Bapak menagih
“Ini Pak, tapi maaf masih kurang” Aku agak beringsut menunduk karena sudah siap dengan konsekuensi yang diterima, yaitu dipukul atau di tampar.
“Sini duduk!” Bentaknya dengan nada kasar, aku sudah terbiasa dengan menebak apa yang akan terjadi, pasti ditampar gumamku dalam hati. Aku segera bergegas duduk di samping Bapak takut emosinya kian menjadi dan imbasnya aku yang nantinya babak belur lagi seperti tempo waktu kelas empat Sekolah Dasar dulu.
“Plak!!”
Yah,, memang sudah kutebak endingnya akan ditampar. Rasanya masih sama seperti tamparan-tamparan yang kuterima waktu dulu. Perih, pegal dan jelas langsung memerah pipiku. Bapak juga masih memakai umpatan kata-kata yang sama,
 “Dasar anak tidak tau diuntung! Gara-gara kamu lahir di dunia ini istriku jadi pergi untuk selamanya!” sembari berlalu meninggalkanku di ruang tamu.
 Dalam hati ku bergumam “apakah Bapak tidak ingin memujiku walau hanya sekali? Ah..  mungkin terlalu berharap lebih bila demikian kan Tuhan? Padahal hari ini adalah hari terahirku di Purwokerto.Biarlah...” Sembari memejamkan mata menahan sisa rasa sakit.

Aku bergegas menuju kamar, prepare segala keperluan untuk berangkat mengenyam pendidikan di Jogja tanpa mempedulikan kejadian tadi, toh itu sudah biasa terjadi dalam setiap pergantian bulan dalam kehidupanku. Paginya, sehabis jamaah shubuh aku menyalami Bapak niat berpamitan dan minta doa restu walaupun selama ini Bapak membenciku. Ini adalah sebagai wujud takdim darah kandung karena Bapak merupakan satu-satunya pelita yang berharga dalam hidupku.


“Pak, Rangga pamit, minta doanya agar diberi kelancaran” Aku mencium tangan dan memeluk Bapak sebagai tanda perpisahan. Bapak hanya terdiam seribu bahasa dengan segala kekakuan dan kebekuan yang khas. Tapi sewaktu aku menoleh kebelakang untuk memberi salam yang terakhir, aku lihat mata yang gagah perkasa itu berkaca-kaca. Seumur aku hidup, baru kali ini aku melihat mata yang gagah dan tajam seperti mata elang itu berkaca-kaca seakan tak kuasa menahan kepedihan dan kesedihan ditinggal anak semata wayangnya.

***

Angin mendesir menggoyangkan beberapa pohon hingga tega menjatuhkan beberapa lembar daun yang bercokol mesra yang masih ingin menggantung di ranah sang ranting. Daun yang berserakan di pelataran kampus ternama di Jogja itu menjadi saksi keberhasilanku meraih gelar sp.OG. Burung gereja di pelataran kampus itupun tak luput menjadi saksi keberhasilanku meraih sarjana kedokteran setelah menempuh pendidikan selama sembilan semester yang penuh lika-liku dan halang rintang ini. Tak butuh waktu lama untuk aku mendapatkan pekerjaan, karena aku merupakan mahasiswa berprestasi, justru banyak sekali Rumah sakit yang menawari pekerjaan. Aku memilih bekerja di rumah sakit akademik kampusku sendiri, karena aku pikir lebih mengenal dan familiar dengan keadaan dan kondisi sehingga tidak butuh waktu yang lama untuk beradaptasi.
Setelah kurang lebih lima bulan aku bekerja di rumah sakit, aku mendapat kabar dari Purwokerto bahwa Bapak saat ini sedang sakit, aku mengajukan cuti kepada pimpinan rumah sakit, akan tetapi ditolak karena rumah sakit sedang kekurangan dokter handal dibidang Spesialis Obstetri & Ginekologi. Cuti terpaksa diundur dan aku terpaksa pulang setelah berhasil medesak pimpinan rumah sakit.
Setibanya di Purwokerto aku langsung bergegas menuju Rumah sakit dimana Bapak dirawat. Dengan langkah gontai aku menuju ruang informasi.

“Mohon maaf suster, pasien bernama Bapak Herman di ruang apa?” Dengan sangat terbata-bata aku bertanya karena kehabisan napas berlari dari tempat parkir kendaraan.
“Sebentar Dok, saya carikan dulu datanya.. Bapak Herman Pujiantoro berada di ruang VVIP lantai tiga kamar melati” sembari tersenyum ramah

Tanpa pikir panjang aku langsung lari ke lantai tiga tempat Bapak di rawat. Sesampainya diambang pintu kamar aku langsung mati setengah berdiri melihat kenyataan Bapak sudah ditutupi selimut putih. Shock seketika, seperti mati rasa, hilang sudah pelita satu-satunya. Temaramku kini tiada, tak terasa butiran air mata meleleh dengan derasnya. Tak henti-hentinya mengalir tanpa aku sadari. Aku mendekat mayat Bapak, aku singkap selimut putih yang menutup wajahnya, aku kecup punggung tangannya. Dingin. Aku menangis sejadi-jadinya, aku bergumam “Buat apa aku sekolah tingi-tingi bila ahirnya tidak bisa menyelamatkan nyawa Bapaknya sendiri. Dokter macam apa aku ini!” Suster dan perawat yang ikut menyaksikanpun turut terlarut dalam suasana.

“Dok, maaf.. ini ada titipan surat dari almarhum Pak Herman, sebelum beliau menghembuskan nafas terahirnya, beliu meminta saya menuliskan apa yang beliau utarakan” menyodorkan sepucuk surat kepada Rangga.

Aku buka perlahan seutas kertas dan ku baca secara seksama ;
Assalamualaikum wr.wb
Untuk anak semata wayangku tercinta
Rangga Herman Pujiantoro.

Nak,,maafkan Bapak yang sedari dulu kasar dan memerperlakukanmu dengan keras. Ini semata-mata bukan Bapak benci kepadamu bukan nak, Bapak mencintai dan tentunya menyayangimu melebihi apapun yang ada di dunia ini karena kamu adalah peninggalan satu-satunya dari Dian Eka Prabawati, wanita terhebat yang menjadi Istriku dan juga Ibumu. Tentunya .Tak mungkin aku menyia-nyiakanmu karna hanya kamu lah tinggalan Eka yang tersisa dan sangat berharga. Demi mengeluarkanmu ,Eka Ibumu, rela mengorbankan nyawa. Perlu kamu ketahui nak, cita-cita Ibumu adalah memiliki seorang anak laki-laki yang kuat dan mandiri, tampan seperti Bapaknya, cerdas seperti Ibunya dan kelak bisa menjadi Dokter agar bisa membantu orang banyak. Aku pasti dimarahi Ibumu di alam baka karena mendidikmu penuh dengan kekerasan. Tapi pasti Ibumu bangga, karna kau sudah berhasil memenuhi cita-citanya, kamu menjadi sosok yang mandiri sedari kecil, kamu tumbuh menjadi laki-laki yang  tampan dan kamu sekarang sudah menjadi Dokter.
Dan perlu kamu tau nak,, uang setoran yang sedari dulu Bapak minta sebenarnya adalah untuk ditabung agar kelak kau pergunakan untuk bisa membangun klinik. Itu adalah cita-cita Bapak nak,, sayang Bapak dulu tidak diterima di kedokteran UNSOED sehingga banting stir ke jurusan sejarah IAIN PURWOKERTO karena frustasi. Ah.. tapi semua ada hikmahnya.Tuhan adalah maha baik dengan semua rencananya yang terbaik. Karena lewat itulah Bapak bisa dipertemukan dengan Ibumu.
Sekali lagi mohon maaf karena Bapak mendidikmu terlalu keras dan tidak bisa menghadiri wisudamu, karena pada waktu hari kamu wisuda, Bapak sudah mulai sakit-sakitan, takut apabila nanti dipaksakan menghadiri wisudaanmu sakit bapak bertambah parah dan bukannya membuat kamu senang malah justru membuat repot.
Mungkin usia Bapak sudah tidak lama lagi, apabila nanti Bapak pergi tolong penuhi keinginan orang tua egois ini, makamkan Bapak bersebelahan dengan makam Ibumu.
Sekali lagi Bapak minta maaf. Nak

Herman Pujiantoro

Aku terpaku, mematung dan beku dihadapan Bapak yang sudah mulai kaku. Sepucuk surat dari Bapak masih kugenggam. Dengan berlinang air mata, tertunduk lesu. Sembari lirih aku bergumam.
 “Bapak.. mengapa kau pergi secepat ini.”
Hingga tanpa sadar akupun ikut terhuyung ke belakang. Yang kulihat hanya kumpulan titik kuning yang lama kelamaan menghitam. Hitam kemudian gelap. Di dalam gelap secerca cahaya  putih muncul mulai dari setitik hingga menjadi terang benderang. Di cahaya itu aku melihat Bapak bersama wanita yang teramat cantik tersenyum bahagia. Ah iya mungkin wanita itu adalah Ibu. Sayup-sayup aku mendengar suster memanggil.
“Dokter,,Dokter... istighfar Dokter. Sadarlah Dokter. Nyebut.”

Purwokerto, 21.10.19


#frasasandekala #cerpen #puisi #sastra

Post a Comment

0 Comments