CERPEN: Surat Terakhir Untuk Kekasih

SURAT TERAKHIR UNTUK KEKASIH







Ketika waktu berputar memasuki masa liburan, aku selalu memilih bersinggah di rumah milik kakek yang dibangun di tengah-tengah kebun. Tidak seperti biasa, aku mengajak dua temanku yang terbilang satu pemahaman, pemikiran, dan satu rasa denganku: sama-sama suka Sastra. Ditempat yang diwariskan oleh kakekku inilah, kami bertiga jadikan tempat ini sebagai wadah diskusi. Agaknya, tempat ini layak sekali untuk merenung, berfikir dan menemukan sebuah ide-ide cemerlang, untuk kami menulis sebuah puisi. Tembok rumah yang terbuat dari kayu jati, dengan arsitektur bangunan klasik, membuat kami betah. Terlebih, kami tidak suka hal wah yang berbau modern. 

Semerbak aroma tak tercium baunya, seperti itulah kiranya masa depan yang tidak menahu.  Aku yang sedari tadi sedang menikmati secangkir kopi di teras rumah, seraya menghadapkan wajahku pada tetumbuhan sengon membuatku sedikit masuk dalam relung-relung makna kehidupan. Bagiku kehidupan itu terkadang membingungkan. Demikianlah kata filosof; hidup adalah ketidak mengertian yang harus dimengerti ketidak mengertiannya. Kalimat itu terngiang-ngiang dikepalaku,, setelah semalaman aku membaca buku Tapak Sabda yang aku baca sudah lima kali khatam. Namun, aku ulang-ulang dan tak bosan.

“Heh, melamun kaya orang pikun,” ucap Ija sambil menjejer duduk didekatku. “Mikirin apa Rumi?” Tanyanya.

Yah, Rum adalah sapaan pendek oleh teman-teman kepadaku,, lebih tepatnya aku bernama lengkap Jalaludin Rumi. 

“Gak mikir apa-apa, sedang asik aja ngeliatin pepohon sengon itu”. Sambil menunjuk ke arah pohon sengon.

“Eh, katanya lu mau kasih tau gue si, siiii siapa nama kekasihmu itu lupa?” Tanya Ija.

“Nadia Ja.” 

“Iya itu, si Nadia. Kapanlah, ajak kita main kerumahnya, katamu deket dari sini?”

“Iya hari Minggu besok kita main kerumahnya.” Jawabku seraya membayangkan wajahnya yang telah satu tahun 3 hari 7 Jam 28 menit lamamya akau tak bertemu dan menatap senyum indah  diwajahnya. 

“Yes.” Dengan raut wajah gembira, Ijai menepuk punggung Lutfi sebagai tanda bahwa Ijai senang.

“Tapi inget, yang sopan disana, jangan cari perhatian. Gue tendang lu.” Sembari menyingkirkan tangan Ija yang sedari tadi masih menempel di punggungnya. “Eh, si Tofa udah bangun belum ya Mi? Jadwal dia nyuci piring kan!” 

“Udah, itu lagi nyuci di belakang. Sana mandi lah, abis ini kita ke kebun yu, katanya mau jalan-jalan.” Ucap Ija.

“Ok bos.” Ucapku sembari masuk ke dalam rumah.

***

Pagi hari seperti biasa, mentari dengan terangnya memancarkan kehangatan. Langkah kaki pemuda berseragam SMA, melangkah menuju rumah arsitektur Joglo. Teras yang luas serta tak bersekat itu nampak seoarang perempuan duduk dikursi kayu dengan seragam sekolah yang sama dikenakan olehku yang jelas terlihat sedang menunggu aku menjeputnya.

“Assalamu’alaikum. Selamat pagi.” 

Sapaku ramah kepada sesosok gadis seumuranku, Ia gadis manis yang imut. Pipinya bulat dan ranum. Matanya belo berbinar, alisnya melengkung naggal sepisan. Perpadaun yang pas dan kontras dengan balutan kasual seragam SMA yang membuatku semakin terpana.

“Wa’alaikumsalam. Pagi” balas Nadia dengan senyum yang memperlihatkan lesung pipinya, “Mau langsung berangkat?”

Seketika senyum itu membuatku merasakan keanehan didalam dada.

“Lekas, sudah jam 6:30 WIB” melihat jam dipergelangan tangannya. “Sudah pamit?”

“Sudah.”

“Aku juga harus pamit sama orang tuamu dulu.”

“Tidak perlu,” Sejenak memberi jeda. “Bapak dan Ibu sudah pergi ke sawah.”

“Owh ya lupa, sekarang kan sudah musim panen.” Tersenyum kikuk. “Ya sudah Nad, kita berangkat.”

Aku berjalan ke Vespa yang dipalkirkan di depan rumah dengan Nadia yang mengikuti dibelakang.. Dengan jantung yang semakin tidak bersahabat, Aku menggenjot motor Vespa kesayangan. 

Sial, kenapa jantung ini selalu berdetak cepat ketika melihat senyum Nadia? Tatkala semakin melebar senyumnya, semakin bahagia hati terasa. Nggak mungkinkan aku jatuh hati padanya? Sadar uy sadar. Dia itu Nadia, teman sedari dulu! Nadia yang selalu kamu jahili hingga menangis, itu Nadia yang selalu kamu hardik dan kau maki, itu Nadia yang selalu kau ganggu. Tapi tunggu, bukankah sedari kecil aku juga tidak suka bilamana Nadia di ganggu oleh selain aku? Apa mungkin itu juga rasa cinta? Persetanlah! Ini si Vespa kenapa lagi nggak mau nyala-nyala, kemarin itu oke-oke aja. Ikut-ikutan aja dasar Vespa tua.

 “Jago kenapa, Mas?” tanya Nadia. Yah, jago adalah panggilan mesra kepada motor Vespaku, sedangkan aku hanya dipanggil Mas. Yah, sebuah penghormatan baginya untukku.

“Ngambek mungkin karena kemarin tidak pulang bareng kamu.” Dengan masih terus menggenjot si Jago.

“Candaanmu nggak lucu.” Sambil mengibaskan tangan kanannya seolah menapik sesuatu. “Coba sini aku bantu.” Nadia menawarkan.

“Ya kali, kamu kan cewek masa iya bisa?”

Sambili mengelap keringat di pelipisku dan aku menyerah menghadapi si Jago sialan ini.

Nadia hanya tersenyum dengan memperlihatkan lesung maut dipipinya.  Benar saja si Jago langsung meraung-raung dengan knalpot kalengnya setelah Nadia genjot hanya dengan satu genjotan. Aku hanya melongo melihat keajaiban itu. 

“Lihat kan mas, si Jago langsung bangun.” Senyum Nadia penuh kemenangan. “Ayo berangkat, nanti keburu telat!” Ajak Nadia kemudian.

“Lekas.” Aku masih saja meplongo karena tidak percaya. 

Jarak Sekolah dari rumahnya memang lumayan jauh. Butuh waktu setengah jam untuk sampai. Letaknya berada di daerah pusat kabupaten. Sedang rumahku dan Nadia berada di desa. Disepanjang kanan kiri jalan yang kulewati, terlihat hamparan sawah yang sedang menguning juga beberapa petani dengan aktivitasnya. Ada yang bergerombol memetik padi yang siap panen, ada juga yang sedang beristirahat di gubuk sekedar melepas penat. Ada juga yang sedang merontok padi dengan mesin khusus perontok padi. 

Dulu sewaktu aku masih kecil. Aku juga pernah ikut Nadia ke sawah yang tengah panen bersama orang tuanya. Jujur aku senang bisa ikut serta merontok padi, hanya saja, seingatku dulu tidak pakai mesin. Aku memukul-mukulkan seikat penuh gagang padi ke sebuah kayu. Orang desa menyebutnya dengan istilah gepyok. 

Waktu membajak sawah juga adalah hal yang paling menyenangkan bagiku. Yaitu dengan senang hati membantu Ayahnya Nadia, walaupun hanya membantu naik di punggung Kerbau dan menggiringnya kesana-kemari. Tapi sekarang pemandangan di sawah sudah lain, semua alat serba mesin. Dari mesin pembajak hingga mesin perontok padi. Kalau sekarang sudah serba mesin, apajadinya pertanian di zaman tuaku nanti. Mungkin sudah tidak ada lagi generasi petani. Semua akan digerakan oleh robot-robot besi? Mungkinkah begitu?

 Aku memandang lurus ke utara, menyudahi pikiran yang berkelana berlarian di masalalu itu. Sayup-sayup Gunung Slamet terlihat gagahnya di sela-sela selimut halimun. Menjulang tinggi dan tegar walau dirinya sedang dikeruki oleh serakahnya tangan-tangan usil manusia. Hutan-hutannya diperawani dan digunduli. Aku tahu perihal ini dari blog pecinta alam yang ada di internet. Awalnya aku mengira itu hanya hoax belaka, tetapi seiring berjalannya waktu ternyata berita itu memang ada kebenarannya. Pemerintah daerah memang sudah menandatangani kontrak kerja dengan perusahaan pembangkit listrik tenaga panas bumi asal luar negri. Dampaknya memang luar biasa bagi lingkungan dan masyarakat, waktu hujan lebat sungai yang berhulu dari Gunung Slamet selalu banjir dengan membawa material berat. Curug di kaki bukit ujung barat yang menjadi destinasi andalan sekarang juga tidak menarik karena airnya keruh, jelas sudah ekonomi masyarakat di sekitar lokawisata terkena imbasnya. 

Aku yang hanya pelajar SMA pada waktu itu tidak bisa apa-apa, yang aku bisa hanya menggalakan program reboisasi pada Gunung Slamet di ekstrakurikuler pecinta alam yang aku ikuti di sekolahan. Aku semakin nanar dan ngenes melihat keserakahan manusia demi kepuasan pribadi hingga rela mengorbankan alam. Pikiranku semakin terbang ke awang-awang. Hanya tak bisa habis pikir dengan keputusan pemerintah yang aku anggap egois. 

 “Kamu kenapa?” Nadia bertanya memecah keheningan.

“Nggak papa kok.” Jawabnya datar.

“Kamu seakan terlihat prihatin bilamana memandangi Gunung Selamet.”

“Emang terlihat seperti itu ya Nad?”

Lutfi memelankan kendaraanya.

“Kamu tahu nggak Nad, apa yang sedang gunung itu alami?”

“Aku tau,” jawab Nadia. “Hutannya kan sedang di tebang guna akan dibuat PLTPB disana.” sambungnya kemudian.

“Nah itu, padahal ekskul yang aku ikuti tiada henti menggalakan program reboisasi,” keluhku, “mereka dengan seenaknya menebang ribuan pohon demi kepentingan dan ambisi.”

 Nadia hanya terdiam mendengar keluh kesahku. Ia tau betul ekskul pecinta alam dengan kerja kerasnya mereboisasi Gunung Slamet, akan tetapi dengan mudahnya kerja keras itu dipatahkan. Yah, sungguh sakit kurasa, bagai kopi yang tumpah karena tumplek, padahal baru jadi. Hemm

Aku  menghirup napas panjang dan menghempaskannya perlahan.

“Kamu tahu juga nggak Nad?” tanyaku hati-hati. “Akhir-akhir ini selain masalah itu yang membuatku tak tentu, ada juga masalah lain yang membelenggu di pikiranku!”

“Nggak tahu?” jawab Nadia karena memang dia tidak tau.

“Perasaanku Nad!” Dengan bibir bergetar dan berusaha melontarkan.

“Perasaanmu?”

“Ya, Perasaanku kepadamu akhir-akhir ini seperti tidak biasa.”

“Tidak biasa gimana?” Nadia semakin bingung.

“Kayaknya aku suka deh sama kamu.”

Deg! Seketika waktu seolah berhenti. Pohon yang bergerak kebelakang karena ilusi penglihatan, angin yang sayup-sayup menerpa, dan sepasang burung Serwiti yang berkejaran menjadi saksi bisu pernyataan cinta yang spontan aku  katakan.

“Kamu yakin?” tanya Nadia dengan rona merah dipipinya.

“1000% yakin!” Aku tak kalah gugupnya hingga hampir oleng mengendarai si Jago karena menghindari lubang jalan.

***

Brakkk!!! Dengan kerasnya Ija menggebrak meja disusul tawanya yang memekakan telinga. Sekonyong-konyong aku terperanjat saking kagetnya dan lepas dari lamunannya. Ija memang begitu orangnya, suka bercanda berlebihan. Kelakuannya tidak pas dengan penampilannya yang maskulin. Dia memang sosok yang ceria, tampan dengan bermata sipit seperti artis korea. Waktu aku pertama kali bertemu dengannya, ku kira Ija Aktris atau setidaknya Selebgram, akan tetapi setelah kenal dan akrab dengannya, Aku segera menarik statment yang dulu aku pikirkan.

“Anjrit kau Ja!” kutukku. “Tranplantasi jantung mahal tau.” 

Ija hanya terpingkal-pingkal melihat aku yang terkaget-kaget dan menyudahi lamunan 3 Tahun lalu. 

“Santai bung, hehe” Mengusap air matanya yang keluar karena saking bahagianya. “Gue kira lo udah mandi, ternyata masih melamun”.

“Kamar mandinya isi!” Jengkel. “Sehabis cuci piring kayaknya Tofa langsung mandi.” jawabku dengan ketus.

“Kalau nunggu Tofa mandi mah lama Bung, dia mandinya kayak cewek.” Ngeloyor duduk di sebelahku. “Lo semenjak disini kok gue perhatikan banyak ngelamun Rum?” sambung Ija sembari memungut buah jeruk yang ada di meja.

“Aku keinget sama Nadia aja.” Mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. “Sudah dua bulan ini dia nggak kasih kabar, begitupun dengan orang tuanya, tak satupun ada yang mengontak atau memberi kabar kepadaku.” Seraya menghembuskan rokok yang aku nyalakan saat Ija ngeloyor duduk di sampingku.

“Owh, makanya lo kesini ngajak kita, disamping ingin mengenalkan kepada gue dan Tofa, lo juga ada alasan khusus karena khawatir?”

“Ya begitulah.”

“Jangan khawatir, gue benci sama orang khawatir. Karena hidup tidak selalu hebat, bukan begitu Jalaludin Rumi?.” Kata mutiara keluar dari Ija. Namun aku hanya diam. “Ekhhhhh! Ini jeruk apa lemon si” Ija melet-melet nggak jelas karena rasa masam yang ditimbulkan jeruk yang dimakannya. 

“Mampus!” kataku. “Kena karma tuh” sambungnya sembari tertawa.

“Sial!” gerutu Ija sembari cengangas-cengenges.

Suitan dari mulut terdengar dari arah belakang. Terlihat seorang berjalan kearah kami dan sedang mengeringkan rambut kepalanya dengan handuk.

“Pada bersik apaan sih?” Tanyanya. “Cepetan mandi dong, katanya mau jalan-jalan ehh.”

“Mandi-mandi” Jawab Ija cetus. “Lo mandi apa bersihin kamar mandi, lama banget.”

“Hahaha, maap. Lo kenapa Rum, wajahmu ituloh murung banget bagai masalah yang kau pendam tak lekas kau keluarkan?”

“Mikirin Nadia Fa, hahah sampai bengong terus dari tadi.”

“Brisik, gua mau mandi terus kita jalan-jalan.” Aku beranjak dari kursi menuju kamar mandi.

“Jangan kelamaan, gantian.” Ucap Ijai.

“Oke.”

***

Hari minggu yang telah dinanti-nanti telah tiba. Terlihat tiga pria menghampiri rumah berasritektur joglo. Aku berjalan agak depan dari Ija dan Tofa, aku tersenyum saat memandang kursi didepan rumah yang seakan-akan menyapa kedatangannku. Yah, kursi itu lah salah satu sasksi saat aku sering bercengkrama dengan Nadia. Terlintas bayang senyum Nadia yang sedang menungguku menjemput untuk berangkat sekolah. 

Belum apa-apa udah dag-dig-dug ser nih hati. Oh kekasih, hati ini kian hari kian meronta. Membayangkan wajahmu saja hati menjadi bahagia. Nyatanya, seorang kekasih adalah salah satu sumber kebahagiaan. Ucapku  dalam hati.

Terdengar suara aku mengetok pintu dan mengucapkan salam. Selang beberapa menit kemudian, seseorang membukakan pintu.

“Wah Nadia kayaknya Ja.” Bisik Tofa pada Ija.

“Wa’alikumsalam. Masyaalloh nak Rumi.” Sapa Ibunda Nadia padaku, Terlihat denga raut wajah agak sedih dan senang melihatku datang, “Udah libur kuliah ya, silahkan masuk nak.” 

“Iya bun.” Jawabku sembari menyium tangan Ibunda Nadia dan disusul Ija dan Tofa.

Ibunda Nadia mempersilahkan duduk pada kami. Tak lama setelah membuatkan teh untuk kami, Ibunda Nadia memanggil suaminya yang katanya sedang menyirami tanaman dibelakng rumah.

Setelah Ayah Nadia menanyakan tentang kuliah pada kami. dan mengobrol kesana-kemari. Aku merasa agak canggung, tidak seperti biasanya, Nadia tak langsung muncul dan langsung menemuiku. Terlepas dari memikirkan itu, Ayah Nadia tiba-tiba mengeluarkan surat yang terlipat rapih dan menyodorkannya padaku.

“Nak Rumi, ini ada titipan surat. Sebenarnya kami tau kalau kamu mungkin sedang bertanya-tanya tentang Nadia bukan? kok tidak ada kabar beberapa bulan terakhir ini.” 

Seribu pertanyaan muncul dibenakku. Dengan sergap dan sopan, ku terima surat dan membacanya dalam hati;

Teruntuk kekasihku Jalaluddin Rumi

Semerbak aroma tak tercium baunya

Seperti itulah kehidupan yang tak menahu

Memohonkan maaf dari lubuk hati yang terdalam. Karena aku lebih memilih diam tak memberitahu padamu tentang penyakit Kanker yang aku idap selama ini. Mas, mungkin Tuhan telah menuliskan kisah kita hanya sampai disini. Bukan berarti Tuhan tidak sayang sama kita. Aku yakin ada maksud lain dariNya.

Perpisahan ini bukanlah akhir segalanya untuk melanjutkan cintaku padamu. Karena aku yakin, perpisahan hanya untuk orang-orang yang mencintai dengan matanya. Akan berbeda denganku, yang mencintaimu dengan sepenuh hati dan jiwa. Maka, aku tidak mengenal kata perpisahan. Walaupun mungkin, ketika kau membaca surat ini aku telah tiada.

Mas, setelah kamu membaca surat ini. Aku ingin kamu tetap meneruskan angan-anganmu untuk menjadi penyair dan teruslah berbahagia. Sebeb kepergianku dari sini, aku akan tetap bisa tinggal bersama kata-kata yang kau tuliskan untukku. Aku tahu, mungkin detik ini kamu sangat sakit dan patah hati, begitupula denganku. Bagiku, patah hati itu baik, tandanya seseorang itu mencintai sunguh-sungguh.

Terakhir; Do’akan aku selalu mas, agar bisa dipertemukan dan dikumpulkan dengan para kekasihNya.

(Salam Asma Putri Nadia)

Tangis tak bisa tetahankan. Mencoba menahan setiap lula yang bergegas naik ke permukaan, aku tak mampu membendung air mata. Ah, aku terkatung-katung di ngarai keputus asaan.

Ayah dan Ibunda Nadia hanya bisa terdiam, berusaha tegar dengan kenyataan yang dialaminya, seraya melihatku benar-benar menyayangi Nadia lebih dari mereka. Ija dan Tofa mencoba menenangkanku.

Memang benar, hidup adalah ketidak mengertian yang harus dimengerti ketidak mengertiannya. Mana mungkin? Seseorang yang sudah berjanji untuk hidup menua bersama. Namun, ah. Percintaan yang menyakitkan adalah dua orang kekasih yang mengaku saling mencintai, namun pada akhirnya tak bisa saling memiliki.

“Terimakasih Pak, Bun sudah memberitahu dan menjaganya. Bolehkah aku meminta untuk diantarkan ke makam Nadia?” 

 “Iya nak, mari kita bergegas.” Jawab Ayah Nadia.

Post a Comment

0 Comments